Sekian Kali Presiden Jokowi Ke Papua, Tetap Percuma

Jayapura, ptppma.or.id – Kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke tanah Papua, jika dihitung-hitung sejak 2014 hingga kini sudah belasan kali Beliau ke Papua untuk kunjungan kerja dan sebagainya. Akan tetapi kenapa kedatangan Presiden Jokowi oleh rakyat Papua selalu dianggap bagaikan angin lalu?

Dari semua agenda kerja dan kunjungan ke Papua oleh Presiden RI itu, sama sekali tidak pernah beliau menyentuh akar masalah Papua. Akar masalah Papua menurut kajian lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) ada 4 akar masalah. Ditambah oleh Br.Theo Van De Broek OFM, satu lagi menjadi 5 akar masalah.

Akar masalah pertama adalah soal pelurusan sejarah politik masa lalu; Kedua adalah pelanggaran HAM; Ketiga adalah Diskriminasi dan Rasisme; Keempat adalah Kegagalan Pembangunan dan kesejahteraan; Dan kelima menurut Br. Theo Van De Broek adalah eksploitasi dan perampokan Sumber Daya alam (SDA) Papua.

Kelima akar masalah ini selalu diabaikan oleh Presiden Jokowi dalam tiap kunjungannya. Presiden selalu berpegang pada akar masalah yang keempat saja, yakni Soal kesejahteraan. Padahal dengan mengabaikan akar masalah pertama dan lainnya secara parsial tidak dapat menyudahi konflik Papua secara komprehensif dan final, guna hadirkan kedamaian permanen bagi masyarakat Papua.

Kunjungan Kerja Jokowi Ke Papua Papua, Senin, 20 Maret 2023 (Foto: Laily Rachev – Biro Pers Sekretariat Presiden).

Hal ini bisa dibilang bahwa Presiden tidak memiliki kemauan dan niat sungguh-sungguh untuk menyudahi konflik pelik Papua dengan menyentuh seluruh akar konflik. Tetapi lebih terlihat mengikuti pola pendekatan presiden sebelumnya, yakni hanya formalitas belaka.

Padahal nyatanya, konflik Papua yang tidak terbendung atau terselesaikan selama ini disebabkan oleh sejarah politik masa lalu yang kontradiktif. Kemudian berakibat memicu lahirnya pelanggaran hak asasi manusia disertai diskriminasi dan marjinalisasi terhadap orang Papua.

Kemudian berujung pada kegagalan pembangunan diberbagai bidang terutama pendidikan dan kesehatan karena Orang Asli Papua selama ini tidak mendapatkan jaminan keamanan serta keadilan dalam hidupnya. Terutama di wilayah-wilayah konflik bersenjata di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Yahokimo, Maybrat dan sekitarnya.

Bersamaan dengan ketidakberdayaan itu, terjadi tindak perampokan dam eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) Papua yang terjadi secara besar-besaran dan massif. Sistematis memang desain kehancuran Papua yang sedang dilakukan oleh negara Indonesia lewat setiap pemerintahan yang ada hingga Presiden Jokowi sekarang ini..

Selama memimpin Indonesia, Jokowi jarang mengedepankan etika demokrasi dan penghornatan pada nilai-nilai universal HAM dalam menangani konflik Papua, baik itu ilegal loging, perampasan tanah adat demi pembangunan investasi yang bertambah marak jumblahnya, pelanggaran HAM dan diskriminasi rasial.

Justeru di era Jokowi terjadi beberapa kali penangkapan dengan tuduhan makar. Terjadi juga peningkatan praktek diskriminasi berbasis rasialisme, serta perampasan tanah adat oleh perusahan sawit dan sebagainya.  Sedangkan dalam konteks kegagalan pembangunan di Papua masih tergolong termiskin di Indonesia. Kita bisa saksikan 95% penduduk Mimika menjadi kabupaten termiskin di Indonesia (BPS 2018), padahal Mimika merupakan wilayah tanah adat yang memiliki emas di PT. Preeport Indonesia.

Dalam sektor eksploitasi dan perampokan SDA jelas terlihat bagaimana PT. Freeporr Indonesia (PTFI) telah meraub keuntungan besar tanpa berefek pada kehidupan ekonomi warga sekitar. Padahal sejak beroperasi hingga saat jni sudah hampir 30 tahun, PTFI telah meninggalkan limbah beracun dan lubang raksasa mengangah tanpa sedikitpun berdampak pada Orang Asli Papua.

Dari banyaknya lapangan kerja yang ada di Papua hampir semuanya dikuasai oleh penduduk migran. Tak ada tempat bagi Orang Asli Papua, selain dijabatan pemerintahan dan birokrasi. Itupun hanya kepala, sedangkan badan dan ekor dipegang oleh masyarakat migran (Non-Papua).

Di fora politik pun, pada beberapa tahun terakhir migran Indonesia menunjukkan mulai muncul dominasi sejak 2019. Makin mencengangkan karena terdapat beberapa kabupaten atau kota yang sudah didominasi oleh Non-Papua. Sebut saja Kota Jayapura, Kabupaten. Mimika, Keerom, Merauke, Nabire dan Kota Sorong. Dimana keenam wilayah besar ini telah menjadi pusat basis dominasi non-Papua pada 2019.

Pada masa Jokowi juga terdapat perbedaaan penanganan setiap masalah kekerasan negara terhadap masyarakat sipil. Sebagai contoh. Jokowi angkat suara terkait kasua Fredi Sambo. Sementara bisu atas kasua penembakan Diego Rumaropen. Itupun belum dengan kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di era Jokowi, sebutnya kasus Paniai Berdarah 2014 pasca Periode Pertama Jokowi sebagai Presiden RI.

Dengan demikian bila pemerintahan presiden Jokowi tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah di Papua sesuai akar konflik masalah di Papua, maka akan menjadi “bara dalam sekam” yang tinggal menunggu kapan meletup. Dan Rezim Jokowi sepertinya akan mewariskan dosa rezim sebelumnya secara regeneratif tanpa berupaya menyelesaikannya secara tuntas dan final.

Dengan melihat itu, maka sampai sekian kali, bahkan ribuan mau ribuan kali pun Jokowi ke Papua, kami akan anggap sia-sia atau percuma. Karena tidak akan pernah mampu menuntaskan masalah Papua secara menyeluruh dan final.

 

Bagikan: