Pada 7 April 1967, pemerintah Indonesia melakukan penandatanganan kontrak izin eksploitasi tambang di Irian Jaya dengan Freeport. Tanggal ini juga menjadi hari jadi Freeport. Dengan demikian, Freeport menjadi perusahaan asing pertama yang kontraknya ditanda tangani Soeharto.
Pada 1989, pemerintah Indonesia kembali mengeluarkan izin eksplorasi tambahan untuk 61.000 hektar. Kemudian tahun 1991, penandatanganan kontrak karya baru dilakukan untuk masa berlaku 30 tahun berikut dua kali perpanjangan 10 tahun. Ini berarti kontrak karya Freeport baru akan habis tahun 2041.
Akhirnya, perjuangan separuh abad mulai berbuah. Pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia meneken Head of Agreement dengan Freeport, perjanjian awal untuk menguasai kendali Freeport ke pangkuan Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan perusahaan yang mengeksplorasi kekayaan tambang dan emas di Papua, Freeport telah menjadi milik Indonesia dari sebelumnya dikuasai Amerika Serikat (AS).
“Saya baru saja ke Tembagapura melihat Freeport dan perlu saya sampaikan kepada para senior, para sesepuh, bahwa Freeport sekarang ini mayoritas sudah milik Indonesia, bukan milik perusahaan AS lagi,” ujar Jokowi saat meresmikan Kongres XII Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) dan Munas XI Persatuan Istri Veteran RI (Piveri) di Jakarta, Selasa (11/10/2022) belum lama ini.
Jokowi mengungkapkan enggan meninjau lokasi tambang emas milik Freeport sebelum Pemerintah Indonesia menguasai sebagian besar atau sebanyak 51 persen saham perusahaan tersebut pada Juli 2018.
“Karena sebelumnya kita hanya diberi (dividen) 9,3 persen. Tiga tahun kami bernegosiasi sangat alot sekali dan kita sekarang sudah memegang saham mayoritas 51 persen,” kata Jokowi.
Dia juga menjelaskan saat ini sebanyak 98 persen karyawan Freeport warga negara Indonesia (WNI), yang 40 persen di antaranya masyarakat Papua.
Dengan kepemilikan yang dikuasai Pemerintah Indonesia, saat ini Freeport memberikan keuntungan berlipat ganda kepada Indonesia dibandingkan sebelum divestasi dari Freeport McMoran. Total saat ini sebanyak 70 persen dari pendapatan Freeport menjadi milik pemerintah Indonesia.
“Saat ini kita dapat dividen 51 persen (dari Freeport), pajak lebih besar, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) lebih besar, bea ekspor juga lebih besar. Jadi, 70 persen pendapatan Freeport masuk ke negara,” katanya.
Kini melalui media mainstrem dan media sosial kolonial memberitakan keberhasilan pemerintah Jokowi-Ma’ruf yang telah mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia (PFI) sebesar 51,2 persen. Kesepakatan tersebut membuat Pemerintah Jokowi mendapat pujian karena dianggap telah membuat “kesepakatan monumental” (landmark deal), sekaligus merepresentasikan sikap nasionalisme pemerintah atas kedaulatan sumber daya alam.
Langkah teknokratis yang diambil pemerintah menunjukkan bahwa betapa lemah negara di hadapan korporasi. Sebab, yang dipertontonkan oleh pemerintah adalah keberpihakan terhadap kelas borjuis dalam upaya merawat Kapitalisme di era Neoliberalisme secara kolektif guna mempermulus jalannya akumulasi kapital. Dengan kata lain, akuisisi saham PFI ditujukan untuk menciptakan ulang kondisi bagi akumulasi kapital dan untuk mengembalikan kekuatan elite-elite ekonomi.
Negosiasi pemerintah dengan pihak Freeport menempatkan Rakyat pada posisi yang marginal. Dalam kondisi yang demikian, kedaulatan rakyat Papua atas sumber daya alam hanyalah kamuflase pemerintah. Sebab esensi dari negosiasi tersebut adalah memastikan agar posisi hegemonik pemodal tetap terjaga secara legal.
Bagi suku Amungme, gunung yang dijadikan sebagai tempat eksploitasi adalah tempat suci. Mereka memfigurkan gunung seperti ibu yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Nilai historis, sebagaimana yang diyakini suku Amungme, dari gunung emas Papua menjadi terabaikan ketika posisi negara hanya sebagai partner bisnis dimana prinsip utama adalah untung rugi. Negara telah mengadopsi logika tersebut, sehingga yang terpikirkan adalah mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya, meskipun harus beralibi dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Pemerintah menunjukkan bahwa kedaulatan rakyat Papua atas sumber daya alam telah terepresentasikan melalui penguasaan negara menguasai sebesar 51,2 persen saham PFI. Jika memang benar Pancasila dan Trisakti bukan cuman isapan jempol semata, maka rezim Jokowi-JK harus mengambil langkah progresif untuk menghentikan aktivitas pertambangan dan merehabilitasi sumberdaya secepatnya ke pangkuan rakyat Papua, khususnya suku Amungme. Akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, Freeport dibiarkan terus beroperasi.
Pengabaian terhadap kerusakan lingkungan dianggap biasa karena data yang digunakan adalah produk dari lembaga yang telah berafiliasi dengan penguasa. Persoalan fundamental yang mesti difahami rezim adalah keberadaan PFI yang memorak-porandakan kosmologi tradisional suku Amungme dan secara mendalam telah mengguncang tata sosial-budaya dan ekonomi mereka. Hal ini yang mesti difikirkan, bukan malah beralibi dengan dalil “Rakyat”, “nasionalis” tapi dalam kerangka kapitalisme.
Pertarungan Merebut Gunung Ersberg
Usaha kelompok imperialis untuk menguasai negara baru merdeka pada 17 Agustus 1945 itu sudah dimulai dari agresi militer tahun 1947-1948, dengan tujuan mampu menancapkan agenda-agenda kapitalisme di Indonesia. Motif dari agresi militer dapat kita lihat dari tiga kesepakatan ekonomi yang dihasilkan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, yaitu: pertama mempertahankan keberadaan perusahaan asing. Kedua, mematuhi IMF dalam pengelolaan perekonomian Indonesia. Ketiga, menerima warisan hutang Hindia Belanda.
Pasca Gestok rezim Orde Baru kemudian segera menerbitkan beberapa kebijakan: Pertama, UU No. 7 tahun 1966 tentang persetujuan pemerintah Indonesia untuk melunasi hutang pemerintah Hindia Belanda; Kedua, UU No. 8 tahun 1966 keanggotaan Indonesia dalam Asian Development Bank; Ketiga, UU No. 9 Tahun 1966 pendaftaran kembali menjadi anggota IMF dan World Bank.
Serangkaian kebijakan tersebut telah membuka ruang atas kapitalisme dalam menancapkan dominasinya di Indonesia. Pada awal 1967, para pejabat Indonesia menyebar ke Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat, berbicara di forum-forum bisnis, dan menyebarkan kabar tentang sambutan selamat datang Indonesia kepada modal Asing. Di tahun itulah Freeport Shulpur menancapkan dominasinya atas gunung emas di Papua. Sekaligus menandakan hilangnya kedaulatan rakyat Papua atas kekayaan alam di negerinya sendiri.
Kehadiran Freeport di Papua merupakan titik balik bagi sejarah penjajahan. Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa kelas borjuis telah berhasil menjerat Papua masuk dalam jeratan kapitalisme ekstraktif yang menekankan prioritas pada keamanan aliran energi, material dan investasi dengan mengesampingkan keselamatan alam dan manusia. Bangkitnya kapitalisme pada masa Orba menempatkan Gunung Ersberg sebagai simbol kemenangan kelas borjuis.
Dengan semakin terkonsolidasinya kekuasaan Orba, muncul keyakinan baru bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat dicapai lewat masuknya modal asing. Keyakinan atau dogma baru ini diimani sebagai cara yang ampuh dalam memperbaiki problem ekonomi dalam negeri yang semakin memburuk. Dalam bingkai inilah kita mesti menempatkan cerita tentang Freeport dan hilangnya hak-hak asasi rakyat Papua: “kemerdekaan, kebebasan, dan keadilan ekonomi, sosial dan politik.”
Pemerintah yang seharusnya menjaga dan melindungi serta mengutamakan kesejahteraan rakyat justru tidak terlihat dalam kasus Freeport. Alih-alih menjalankan amanah konstitusi UUD 1945, pemerintah justru lebih memilih mengambil jalan damai dengan kelas kapitalis serta memarginalkan kepentingan Rakyat. Masuknya negara dengan basis kepemilikan saham 51 persen atas PFI semakin memperburuk keadaan dan memperpanjang waktu penjajahan. Meskipun dalil deviden dan kepemilikan yang lebih besar, tetap saja status mereka adalah kelas penguasa yang menjadi agen penindas rakyat.
Upaya pengorganisasian kapital dalam model korporasi tidak menghilangkan karakteristik fundamental dalam kapitalisme, yakni masalah kepemilikan (saham, obligasi, dst) yang dapat diperjualbelikan layaknya komoditi. Kepemilikan saham atas PFI dari 8,5 persen (Orba) hingga mencapai 51,2 persen (Jokowi-JK) tetap saja proses eksploitasi atas gunung emas Papua tidak akan berakhir. Artinya rakyat sesungguhnya tidak membutuhkan kepemilikan saham, melainkan menghentikan aktivitas pertambangan secara total.
Dan solusi apa yang layak untuk menyelamatkan tanah hak ulayat suku Amungme dan rakyat Papua atas kepentingan PFI yang sangat kapitalistik (tetapi juga berdampak neo-colonialisme dan militerisme) di era Presiden Soekarno, Soeharto hingga Presiden Jokowi-Maruf ini ?