56 Tahun Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia Menguntungkan Kepentingan Amerika dan Indonesia: “Bukan untuk Kepentingan Orang Asli Papua”

(56 Tahun PT. Freeport Indonesia, 07 April 1967 – 07 April 2023)

Berbicara soal Penambangan Freeport-McMoran (Sebuah Perusahan Amerika Serikat) di Mimika – Papua, tidak lepas dari kediktatoran Resim Orde Baru. Diaman Soeharto berharap masuknya Freeport ke Papua Barat sebelum proses PEPERA pada 1969 bisa memperkuat posisi Indonesia dalam merebut wilayah Papua Barat. Sementara bagi Freeport dan Amerika Serikat, mendukung Papua Barat masuk Indonesia lebih menguntungkan untuk memperoleh kepastian mengekspolitasi sumber daya alam.

Namun pada saat itu, Freeport dan investor asing memandang Soekarno yang anti-kapitalisme dan anti-kolonialisme sebagai batu sandungan besar untuk mengeruk kekayaan alam di Irian Barat. Maka jatuhnya Soekarno merupakan momentum yang ditunggu-tunggu. Sesudah Soekarno dipaksa menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto pada 12 Maret 1967, satu bulan kemudian UU Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan dan “pada 7 April 1767 Freeport bersama Pemerintah RI mendatangani Kotrak Karya Pertama Penambangan Freeport-McMoRan di Mimika – Papua”, lebih awal dua tahun dari Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Hal ini ada kaitannya dengan lobi-lobi Elsworkt Bungker yang mengusulkan New York Agreement 1962 dan Rome Agreement 1969.

Setelah Freeport-McMoRan menandatangani Kontrak Kerja pertama dengan pemerintah Indonesia (7 April 1967) untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991. Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Namun disayangkan, karena peristiwa ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa.

Sejarah mencatat bahwa masuknya Freeport ke Papua adalah ilegal. Hal ini dimana pasal-pasal dalam Kontrak Karya itu merefleksikan relasi kekuasaan Orde Baru dalam mencari legitimasi politik atas sengketa status politik Papua Barat dan pemerintah Indonesia. Soeharto membutuhkan dukungan Amerika Serikat, yang diam-diam berencana melangkahi Perjanjian New York yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya pasal 22 (1) yang menjamin hak atas pilihan bebas; dan pasal 18 (D) yang mensyaratkan seluruh orang dewasa Papua harus diperbolehkan mengikuti PEPERA untuk memilih Merdeka atau bergabung dengan Indonesia.

 

REKAM JEJAK KEKERASAN DI SEKITAR FREEPORT

Freeport Indonesia sedang menambang tembaga yang mempunyai deposit ketiga terbesar di dunia, sedangkan, untuk emas menempati urutan pertama dan diduga, dilokasi yang sama juga terdapat deposit urainum sebagai bahan energi nuklir, yang harganya tentu berkali-kali lipat lebih mahal dari pada tembaga dan emas. Seluas 95 persen dari lahan sumberdaya mineral yang di tambang Freeport terdapat diatas tanah adat marga Magal-Nartkime yang adalah pemilik sulung Nemangkawi.

Pertanyaannya, lalu apa yang didapatkan oleh Magal-Nartkime? Dalam kajian Imparsial persoalan pertambangan tembaga oleh Freeport Indonesia melalui masalah dalam kaitannya dengan perampasa tanah ulayat milik suku Amungme yang berdiam di sekitar wilayah pertambganan ditambah lagi keterlibatan Militer Indonesia dalam melakukan penjagaan terhadap lokasi pertambangan Freeport. Akibatnya, suku Amungme meninggalkan tanah leluhurnya di gunung yang dikuasi Freeport dan kemudian pindah ke Aroa, Waa, Tsinga dan Noema. (Hans Magal).

Sejak melakukan penambangan, PT. Freeport Indonesia telah melakukan pelangaran hak asasi manusia pada rakyat Papua, termasuk kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan beragam peristiwa kejahatan hak asasi manusia, langsung maupun tidak langsung. Selama PT. Freeport beroperasi telah berdampak  negatif bagi masyarakat di daerah areal tambang, yaitu terjadi pemiskinan secara sistematis, kesenjangan sosial ekonomi, kegagalan pembangunan, pencemaran limbah yang menghacurkan lingkungan hidup. Dan muncul indikasi bahwa PT. Freeport melakukan kejahatan hak ekonomi, sosial dan budaya, hak-hak sipil dan politik, dan ‘skandal’ biaya pengamanan dengan militer Indonesia.

Mama Yosepa Alomang, tokoh masarakat adat Amungme, pejuang HAM yang juga menerima penghargaan Goldman Award pada April 2001 mengatakan, “Kami mengenal Freeport itu militer Indonesia. Perusahan ini berdiri di belakang kemudian kami diperhadapkan dengan militer untuk mereka bunuh kami. Saya telah masuk keluar tahanan. Selama 16 kali Freeport bersama militer Indonesia menangkap dan menahan saya. Peristiwa ini saya alami sejak tahun 1977 sampai dengan saat ini.”

Salah satu laporan peristiwa Kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Freeport bersama militer Indonesia mengemukakan dalam laporan aktivis HAM John rumbiak sejak Juni 1994 – Mei 1995. Dalam laporan tersebut terungkap peristiwa 9 Oktober 1994, lima warga setempat ditahanan, disiksa, dan dianiaya secara sewenang-wenang oleh militer Indonesia Para korban dibawa ke Pos Militer Koperapoka lalu dibawa lagi ke Polsek Timika. Mereka ditahan selama satu bulan, 9 Oktober – 10 November 1994, dengan tduhan memberi makan dan menyembunyikan anggota Gerakan Pengacau Keamanan. Lalu pada 25 Desember 1994, militer menganiaya tiga warga sipil hingga tewas. Sementara sembilan orang lain dianiaya hingga babak belum menyaksikan pembunuhan terhadap kawan-kawannya. Peristiwa pelanggaran HAM ini kemudian dilaporkan Uskup Jayapura Mgr. H.M. Moninghoff pada 3 Agustus 1995.

Nato Gobai, seorang pastor yang juga mengungkap pelanggaran HAM di areal Freeport, Timika, Papua pada 1994 – 1998 menunturkan pelanggaran HAM di Tanah Papua terjadi sejak masuknya Freeport McMoran di tanah adat masyarakat Mimika pada 1967. Mereka dibunuh, dibantai, dan ditembak layaknya binatang.

Selanjutnya penetapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua pada 1978 hingga 5 Oktober 1998. Walau pemerintah sudah mencabut status DOM pada 1998, kenyataannya berbicara lain. Kejahatan kemanusiaan terus terjadi di Papua, khususnya di Timika. Masih dalam ingatan rakyat Papua, rekayasa penembakan sepanjang Juni – Desember 2009 berbuntut pada penembakan Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua “Kelly Kwalik” pada 16 Desember 2009. Sebelumnya, tentara membunuh tokoh Papua Merdeka Arnold Ap dan Theys Hiyo Eluay.

Dan sampai saat ini ketika Masuknya Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia 7 April 1967 – 7 April 2020, Freeport telah sarat dengan pelaku kejahatan kemanusiaan dan perusakan ekosistem di Papua. Bagi Bakyat Papua Freeport menjadi sumber petaka. Kehadiran freeport telah merusak sendi-sendi kehidupan dan lingkungan orang Papua secara masif. Freeport juga punya andil bagi ladang korupsi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Tanah Papua tanpa ada solusi penyelamatan Manusia dan Alam Bangsa Papua Barat.

 

GUGATAN

Freeport harus di tutup karena Freeport hadir atas kepentingan Amerika Serikat dan Indonesia, dan bukan untuk Orang Asli Papua. Hal ini dimana Sejarah politik Rakyat Papua yang pernah ada (1 Desember 1961) di manipulasikan dengan ANEKSASI Bangsa Papua Barat 1 Mei 1963 (Pencaplokan Pakssa) ke wilayah pemerintahan Negara Indonesia, dimana terlihat jelas pada peristiwa PEPERA yang tidak demokratis karena kepentingan kapitalisme (Dalang PT. Freeport) di atas tanah Papua, terkhususnya penambangan tembaga dan emas di Mimika – Papua.

Maka perjuangan rakyat papua yang sampai saaat ini menuntut agar Freeport di TUTUP adalah perjuangan untuk mengusir penjajah oligarki lewat kekuasaan pemerintah Indonesia dan kapitalis yang selama ini mengeruk habis sumber daya alam di bumi Amungsa, sehingga perlawanan masyarakat asli Papua selalu ada untuk terus melaan dan menghancurkan Freeport hingga TUTUP dan merebut kembali hak-hak politik dan kepemilikan ulayat adat orang Papua di wilayah adat Amungme, Timika.

Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia di Mimika – Papua adalah ilegal dan dalang dari seluruh kejahatan masuknya Bangsa Papua Barat dalam penindasan oligarki (neo-kolonialisme Indonesia) dan Kapitalisme Global (PTFI, dkk), yang mengakibatkan adanya kekerasan kemanusiaan (Pelanggaran HAM Berat) oleh aparat TNI-POLRI, pencurian lahan rakyat; Kekerasan ekonomi, politik dan sosial secara langsung maupun tak langsung di Seluruh Tanah Papua Barat.

Maka kebenaran dan solusi domokrasi bagi penyelamatan Rakyat Bangsa Papua dan Alam Bangsa Papua kedepan ialah Pemerintah Indonesia, Amerika Serikan dan Berserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera “Tutup Pertambangan PT. Freeport Indonesia dan membuka dialog damai untuk selesaikan persoalan politik dan hak di atas Tanah Papua.”

______________________

REREFENSI:

  • – Lihat http://wwww.westpapua.net/docs/books/boo1/part03..
  • – Lihat http://wwww.westpapua.net/docs/books/boo2/part06..
  • – Bdk. Laporan investigatif wartawan New York times Jane Perlez, Raymond Bonner dan Kontributor Evelyn Rusli, Below a Mountain of Wealth, a river of Waste, 27 Desember 2005.
  • – Markus Haluk, Menggugat Freeport, Satu Jalan Penyelesaian Konflik. Jayapura: Deiyai dan Honai Center, 2014.
  • – Benny Giay, Hidup dan Karya John Rumbiak: Gereja, LSM dan Perjuangan HAM Dalam Tahun 1980an di Tanah Papua, Jayapura: Deiyai, 2011.

 

Bagikan: