Apakah benar hak-hak masyarakat adat dirampas oleh negara ? Sebelumnya, telah diuraikan artikel tentang “Siapa Itu Masyarakat Adat?” dan apa hubungannya dengan “kapan mereka (masyarakat adat) itu berada” dan apa saja yang mereka miliki, sebelum mengenal dan mendapat pengaruh dari luar. Dimana mereka telah hidup dengan rukun dalam satu teritorial tertentu, menguasai, memiliki, mengelola dan memanfaatkan semua sumber daya yang ada di wilayah mereka secara teratur. Keteraturan sosial ini dikendalikan melalui tatanan sistem politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan nilai-nilai kearifan.
Tanah, hutan dan segala sumber daya alam yang ada di dalam wilayah dimana mereka hidup adalah satu kesatuan hidup, sehingga antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Karena disanalah tempat dimana mereka hidup, mereka berpijak, dan tempat dimana mereka mengekspansikan dirinya sebagai satu kelompok yang berbeda dari kelompok lainnya.
Setiap kelompok masyarakat pribumi memiliki falsafah hidup, falsafah tentang bagaimana memaknai diri mereka sebagai manusia dan memaknai segala sesuatu yang mereka miliki sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Misalnya orang Papua secara umum memaknai diri sebagai “saya” yang artinya “saya adalah saya dan saya berbeda dengan orang lain”, dan apa yang saya miliki adalah milik saya tetapi untuk semua (prinsip individual komunalis).
Sementara secara filosofis mereka memaknai tanah sebagai tempat lahir, tanah tumpah darah dan ibu, sementara potensi sumber daya alam yang tersedia di dalam teritorial mereka dianggapnya sebagai ASI (air susu ibu). Dengan demikian mereka lahir dari seorang ibu, mereka disediakan ASI untuk hidup dan pada akhirnya mereka akan kembali ke dalam rahim seorang ibu pada saat meninggal dunia. Karena itu setiap tindakan pengambil-alihan atas tanah dan sumber daya alam dianggap sebagai tindakan perampasan, penindasan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang ibu.
Soal apakah ada tindakan penindasan, perampasan, pemerkosaan, pembunuhan dan pengambil-alihan hak masyarakat aadat (reklaiming) oleh negara, kita perlu cermati bersama. Dari sisi kebijakan hukum, pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sudah jelas membuka ruang untuk memungkinkan terjadinya tindakan-tindakan reklaiming tersebut. Isi pasal tersebut mengatakan bahwa “bumi, air dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Dari sisi tata ruang perundang-undangan, UUD 1945 merupakan hukum dasar karena itu implementasinya harus diterjemahkan dalam aturan-aturan turunan seperti UU, PP, PERPU, Kepres, Kepmen dan seterusnya sampai Perdes/Perkam untuk di Papua. Sesuai dengan objek pengaturan kita bisa cermati, misalnya yang berhubungan dengan tanah kita bisa lihat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan lain-lain.
Dari berbagai produk aturan perundang-undangan yang ada di Indonesia kalau kita cermati, selalu ada bahasa-bahasa hukum yang dengan sengaja dirancang untuk mengelabuhi masyarakat awam, terutama penduduk pribumi sebagai pemilik tanah dan sumber daya alam. Karena setiap kata selalu mengandung seribu tafsir, disisi lain kata-kata ini juga bisa dimaknai sebagai bentuk-bentuk “sadisme hukum”. Mengapa dikatakan adanya sadisme hukum? Karena ada upaya dan dengan sengaja ingin menghilangkan fakta keberadaan penduduk pribumi atau masyarakat adat dengan hak-hak yang melekat pada diri mereka.
Apakah perlu bukti, mari kita lihat sama-sama pasal demi pasal dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kehutanan. Pasal 1 ayat 6, Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Kemudian pasal 4 ayat 3, mengatakan bahwa Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Pada pasal 5 ayat 1 tidak disebutkan adanya hutan adat tetapi kemudian pada ayat 2 dikatakan bahwa hutan adat itu ada di dalam hutan negara, sementara pada ayat 4 dikatakan bahwa apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan sudah tidak ada lagi, maka hak pengelolahan hutan adat kembali kepada Pemerintah. Sementara dalam pasal 67 mengisyaratkan:
- Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: (a) melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; (b) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan (c) mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
- Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Kalau kita cermati pasal dan ayat-ayat ini diatas dengan baik, maka sudah sangat jelas dan secara terang-terangan negara ingin mereklaiming secara paksa dan menghilangkan penduduk pribumi dari posisinya sebagai pemilik dan subjek hak. Kini yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ada atau tidaknya suatu kelompok masyarakat adat?
Mengapa harus perlu pembuktian dan harus disahkan oleh pemerintah melalui Perda? Padahal diantara kelompok masyarakat adat itu sendiri sudah hidup turun temurun sebelum adanya negara dan saling mengakui keberadaan mereka tanpa harus ada lagi upaya-upaya untuk pengakuan oleh negara dalam bentuk Perda, sedangkan nantinya mendapatkan pengakuan dari perdah itu malah dipersulit juga oleh negara.
Sampai disini sudah jelas kalau ada kepentingan negara secara sepihak oleh kekuasaan yang menindas masyarakat adat untuk menguasai hak-hak wilayah adat yang dimiliki oleh masyarakat adat untuk kepentingan ekonomi-politik mereka. Apalagi tanah, hutan dan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat masih dianggap sebagai aset komudity belaka.
Contoh-contoh kasus bagaimana masyarakat adat di negara ini merasa hak-haknya dirampas oleh negara sudah banyak, silakan kita menemukan referensinya di internet atau di artikel-artikel kami yang akan datang. Namun singkatnya, kita harus sadari bahwa hak-hak masyarakat adat telah dirampas oleh negara, dimana sampai saat ini belum adanya pengesahan RUU Masyarakat Hukum Adat oleh DPR RI. Sedangkan eksploitasi SDA yang tidak bertanggung jawab oleh investasi asing di atas tanah ulayat masyarakat adat semakin marak.
Demikian! Pada artikel selanjutnya kita akan mengulas mengenai “Perjuangan Masyarakat Adat dan Hambatannya.”
Bersambung…….