Setiap kelompok masyarakat memiliki cara melakukan perlawanan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara kekerasan maupun persuasif atau damai. Perlawanan dilakukan masyarakat adat selama ini adalah menuntut negara mengakui keberadaan mereka dan tidak melakukan tindakan-tindakan eksploitatif baik secara fisik maupun berkedok hukum.
Contoh dari pasal dan ayat-ayat dalam UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 adalah tindakan-tindakan eksploitatif berkedok hukum yang bersifat sadis karena ini merupakan upaya penghilangan yang dilakukan oleh para orang pintar di negara ini yang bertitel SH, MH, MA, Doctor, Profesor dan seterusnya. Intelektualitas para pemikir di negera ini seolah-olah turun dari langit dan masuk dalam barisan suksesi negara, padahal mereka lupa bahkan dari buah pikiran mereka telah berdampak negatif, orang tua dan sanak saudara mereka telah diusir dari tanah leluhur mereka.
Mata-mata air yang telah menjadi sumber hidup berubah menjadi air mata dan darah, hutan-hutan sebagai tempat hidup, berubah dan menjadi lapangan sawit. Ratapan pun bergema dimana-mana namun negara dan sekutu kapitalis seolah tidak bergeming, tak ada dewa penolong di negeri ini, ketamakan telah meluluhkan saraf indera perasa, telinga menjadi tuli dan lidah telah diflakban oleh rupiah dan dolar.
Perbedaan pemahaman antara masyarakat adat dengan negara sulit dikompromikan, masyarakat merasa mereka adalah tuan dan pemilik atas tanah, hutan dan sumber daya alam. Sementara negara berdasar pada ayat suci pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan aturan turunan yang lain merasa diberi kekuasan dan kewenangan mutlak untuk mengatur. Negara pun dengan kekuasaannya tidak lagi malu untuk mempertanyakan asal-usul penduduk pribumi tentang dari mana mereka berasal, dengan lantang pula mengatakan ahwa kalian harus buktikan dan disahkan oleh saya (pasal 67 UU No 41/1999).
Konsekuensi dari sikap arogansi negara seperti ini justru membawa kita kepada masa-masa sejarah imperialisme modern di seluruh belahan dunia dan mungkin karena pengalaman sejarah 350 tahun dijajah Belanda, maka ini mungkin menjadi satu inspirasi untuk melakukan hal yang sama ? Karena sejak masa Orde Lama dan Orde Baru maupun Orde Reformasi ini, model-model kepemimpinan serta pendekatan kebijakan pembangunan yang digalakan tetap sama.
Setiap orang terutama masyarakat adat bicara soal eksploitasi hak mereka justru pemerintah balik mengkriminalisasi dengan berbagai stigma, di Jawa hampir selalu dibilang antek-antek PKI, di Aceh dibilang GAM, di Papua dibilang OPM dan seterusnya.
Pendekatan negara dalam menghadapi rakyat selalu menggunakan pola pendekatan represif, hampir semua pejuang HAM dikriminalisasi dan digiring masuk ke dalam kategori subversi kemudian disiksa bahkan sampai ditahan dan dibunuh.
Kondisi ini membuat kelompok pejuang hak-hak masyarakat sipil sulit membangun komunikasi dan mengorganisir mereka, dipertengahan tahun 1980-an kelompok gerakan ini mulai masuk bekerja atas nama gereka, mesjid dan lain-lain. Fokus kerja mereka adalah membangun pemahaman kritis dan membentuk organisasi-organisarsi sosial, terutama di tingkat masyarakat adat untuk sebuah gerakan.
Pt. PPMA Papua yang sebelumnya didirikan dengan nama YKPHM Irian Jaya pada tahun 1988, muncul untuk membangun kesadaran kritis. Tahun 1988 sampai 1990 difokuskan untuk melakukan kajian tentang sistim politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan nilai-nilai kearifan lokal di beberapa daerah sebagai sampel. Tahun 1991-1994 YKPHM mulai mengembangkan media belajar kritis dalam bentuk pendidikan hukum kritis dan pendidikan analisis sosial. Melalui proses ini masyarakat adat mulai sadar dan mereka sedang dikendalikan oleh negara dan kapitalsime global, disisi lain mereka merasa memiliki sistem yang seharusnya menjadi kekuatan.
Tahun 1995 merupakan awal dari gerakan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat adat di Papua, kebanyakan atas inisatif masyarakat adat sendiri, Pt. PPMa hanya diminta untuk membuat kerangka organisasinya, ada yang dalam bentuk DPMA (Dewan Persekutuan Masyarakat Adat), LMA (Lembaga Musyawarah Adat) dan Dewan Adat.
Dari gerakan pengorganisasian dan pendidikan kritis ini kemudian pada tahun 1999 seluruh perwakilan masyarakat adat berkumpul di Bundaran Hotel Indonesia dan menyatakan sikap dengan pandangan dasarnya “Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak akan mengakui negara”, suatu pernyataan yang tidak pernah dibayangkan oleh negara sebelumnya.
Kritik dan Pandangan dasar masyarakat adat ini sesungguhnya yang ingin mereka sampaikan disini bahwa jauh sebelum NKRI ini berdiri, telah hidup kelompok-kelompok masyarakat adat yang tersebar di santero Nusantara. Diakui dengan jelas bahwa adanya keanekaragaman budaya masyarakat adat di seantero nusantara, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam istilah Bhineka Tunggal Ika.
Olehnya itu, inilah yang menjadi perhatian sangat serius dan sangat penting bagi negara terhadap orang asli Papua agar masyarakat adat di Papua tidak mengalami penderitaan-penderitaan yang serius akibat kebijakan negara melalui aturan perundang-undangan yang dengan sengaja mengeculkan dan bahkan menghilangkan nilai, harkat, martabat dan kedaulatan masyarakat adat oleh kedaulatan negara RI dalam praktek-praktek penyelenggaraan negara.
Sampai disini, kita dapat memahami bahwa adanya perjuangan masyarakat adat untuk bebas dari kepentingan-kepentingan negara yang menindas dengan dalil kriminalisasi atas perundang-undangan yang dibuat. Perlawanan ini demi menjaga manusia, tanah dan SDA yang terkandung di dalamnya. Perlawanan untuk bebas dari keserakaan negara dan kapitalisme (Investor, dkk).
Sampai saat ini hambatan-hambatan dari perjuangan masyarakat masih dikendalahi oleh kebijakan negara yang sepihak, walaupun RUU Masyarakat Adat sudah diperjuangkan oleh seluruh masyarakat adat di Nusantara, namun belum disahkan oleh DPR RI dan kroni-kroninya. Tapi perjuangan masyarakat adat tidak akan pernah tinggal diam, akan selalu terorganisir untuk melawan bersama.
Mari kita bersatu padu sebagai masyarakat adat di seluruh Indonesia dan Papua, bersatu memperjuangkan hak-hak masyarakat adat kita, agar bebas dari kepentingan kekuasaan oligarki yang ada di sistem birokrasi pemerintah dan kepentingan eksploitasi SDA oleh investor asing (kapitalis) di negara ini.
Demikian! Pada artikel selanjutnya, kita akan membahas tentang “Syarat Pengakuan Hak Ulayat dan Eksistensinya”.
Bersambung………