Jayapura, ptppma.or.id – Berbicara tentang pangan lokal di tanah Papua, tentunya kita semua akan menyebut ‘Sagu’ sebagai salah satu makanan tradisional masyarakat hukum adat Papua, yang sudah ada sejak turun temurun dari nenek moyang orang Papua ketika mengenal yang namanya berburu dan meramu dari hasil hutan.
Sebagai makanan pokok, sagu banyak tumbuh di hutan atau lingkugan sekitar tempat masyarakat adat hidup. Baik sagu yang tumbuh liar maupun ditanam. Ciri khas sagu sangat dikenal kalau dibuat menjadi makanan papeda yang disaji dengan lauk ikan kua kuning, selain itu bisa bermacam-macam bentuk penyajian makanannya seperti sagu sinole, sagu bambu, sagu bakar dan sebagainya.
Mengola sagu adalah bagian dari budaya orang Papua untuk aktifitas meramu. Pengetahuan mengenai proses pengolahan sagu sampai saat ini diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi. Hal ini sehingga tidak heran masyarakat adat Papua sangat akrab dengan sagu dan cara mengolahnya untuk dijadikan sumber makanan pokok sehari-hari.
Berbicara sagu tentunya berbicara tentang pangan lokal Papua dan juga pengetahuan lokal tentang cara mengelolanya. Baik menanam, menjaga, menebang, menokok hingga mendapatkan isi sari sagunya yang baik itu ada pengetahuan lokal masing-masing wilayah adatnya.
Khusus di wilayah adat Boasom, Administrasi kampung Garusa, Distrik Unurum Guay, Kabupaten Jayapura, Papua yang merupakan wilayah pendampingan kerja lembaga Pt. PPMA Papua Program Suara untuk Aksi Perubahan Iklim berkeadilan/ Voices for Just Climate Action (VCA) kerjasama WWF Wilayah Papua, juga telah menemukan keunikan dari masyarakat adat kampung Garusaa tentang “menyimpan sagu di dalam tanah.”
Proses menyimpan sagu di dalam tanah ini merupakan bagian dari pengetahuan lokal masyarakat adat Boasom di kampung Garusa, demi menjaga ketahanan pangan untuk kehidupan makan sehari-hari. Hal ini ditemukan dan disampaikan oleh Obeth Farwas selaku Staff Pt. PPMA Papua yang telah melakukan pendampingan penanaman pekarangan rumah di kampung Garusa pada bulan Agustus, 2022.
Pengetahuan ini diungkapkan oleh seorang Bapak, namanya Yunus Ters, selaku bagian dari kelompok tani pekarangan rumah yang didampingi oleh Obet saat pelatihan pembuatan polibek dari daun sagu. Karena polibek dari daun sagu inilah Bapak Yunus bercerita tentang penyimpanan sagu di dalam tanah.
“Dulu orang tua kami menyimpan sagu di dalam tanah. Mereka setelah tokok sagu, hasilnya ada yang bawa pulang, terus lainnya itu dong isi di daun bungkus nasi, terus diikat dan dikubur di tanah yang berlumpur dekat pohon sagu, tapi tanah itu sebelumnya harus digali dalam bentuk lubang. Sebelum dong kubur itu, dong alas dengan kulit kayu khusus, lalu taru itu sagu yang su bungkus dengan daun nasi itu ke tanah yang digali tadi, lalu ditutup permukaannya dengan daun nasi lagi kemudian dikubur secara baik sesuai kebiasaan untuk mengubur sagu dalam tanah,” ucap Obet meniru cerita dari Bapak Yunus.
Proses ini ada dua cara yang dilakukan pada saat itu, pertama dibungkus dengan daun nasi atau dalam bahasa lokal disebut ‘Hontan ala’ dan diikat, lalu dikubur ke tanah yang berlumpur, tetapi tanah itu sebelumnya digali dan dibungkus dengan kulit kayu khusus yang disebut dalam bahasa daerah itu ‘kulit kayu Job sob’. Sedangkan cara kedua itu setelah dibungkus dengan daun nasi, dibungkus lagi dengan kulit kayu job sob, kemudian diisi di dalam pelepa dibon, lalu disimpan di bandar-bandar kayu besar, yang ada di hutan atau tempat mencari.
Namun Obet menjelaskan kalau Bapak Yunus sampaikan bahwa kebiasan itu sudah tidak lagi dipakai untuk generasi sekarang. Hal itu karena perubahan situasi yang dulu dengan sekarang, dimana situasi zaman dulu sering terjadi perang suku sehingga masayarakat menggunakan cara-cara tersebut untuk menyimpan sagu sebagai bahan makan saat situasi perang, sebab saat perang tidak ada lagi yang sibuk menokok tetapi tinggal mengambil sagu dari tempat-temapat yang sudah tersedia penyimpanan sagu dalam tanah tersebut.
Kalau sekarang, situasi perang sudah tidak ada sehingga masyarakat adat di kampung Garusa tidak lagi menyimpan sagu di dalam tanah yang berlumpur. Namun proses penyimpanan sagu saat ini masih dilakukan tetap dengan cara lain, yaitu dibungkus dengan Hontan ala (Danun nasi), diikat dan dibungkus dengan kulit kayu Job sob (sejenis kayu pala) kemudian disimpan di rumah. Hanya saja sagu tersebut cuma bertahan papaling lama dua sampai empat (2-4) bulan, tidak seperti proses disimpan dalam tanah yang bisa bertahan selama berbulan-bulan bahkan pertahun lamanya.
Hal ini diceritakan juga oleh CO Pt. PPMA Papua, Anton Biarawa yang juga merupakan masyarakat adat kampung tetangga dari Boasom, kampung Garusa, yaitu kampung Guryad. Ia bercerita kalau dirinya masih menggunakan praktek penyimpanan sagu di dalam tanah dan di dalam kulit kayu Job sob.
“Di kampung kami Guryad dan di kampung Istri saya di kampung Santosa, saya biasa menyimpan sagu yang baru ditokok ke dalam kulit kayu Job sob, tapi sebelumnya sagu itu dibungkus dengan hontan ala (daun nasi) terlebih dahulu. Setelah itu bisa disimpan di bandar kayu di hutan atau dibawah ke rumah. Tapi hanya bisa bertahan 1 bulan saja,” ungkap Anton.
Kamabina Daun Dasra dari suku wilayah adat dusun Tekbo yang bermukim di Kampung Sawesuma juga membenarkan cerita ini. Ia menjelaskan sejak ia kecil, orang tuanya sering melakukan hal itu karena situasi perang. Dalam kebiasaan sehari-hari, mereka menyebutnya dengan bahasa lokal suku Urya “Dobe kama (Sagu yang disimpan di dalam tanah).
“Waktu kecil bapa sering lihat orang tua lakukan hal itu. Kami suku Urya besar, baik itu mo di kampung Boasom, Beneik, Guryad, Santosa, Nandalzi, Bebo dengan Sawesuma itu sebut bilang “Dobe kama” (Sagu yang disimpan di dalam tanah). Bapa punya orang tua sering buat Dobe kama karena saat itu situasi perang suku sering terjadi, makanya Dobe kama itu kitong pu makanan yang tong makan pas kalau ada perang suku,” pungkas cerita dari Kamabina Daun Dasra di Kampung Sawesuma (Sabtu, 13 Mei 2023).
Kini dari cerita menyimpan sagu di dalam tanah, kita dapat mengetahui bahwa adanya keunikan tersendiri dari pengetahuan lokal yang harus diangkat sebagai bagian dari kehidupan meramu oleh masyarakat adat Boasom di kampung Garusa yang patut kita lestarikan sebagai dampak dari ketahanan pangan yang tidak lepas dari proses perubahan iklim yang ada. Disisi lain penting sekali pengetahuan ini dijaga dan dilestarikan ke geenerasi selanjutnya.